• Jumat, 02 Februari 2018


    Sama dengan kebanyakan buah lain, pisang adalah salah satu jenis buah yang bisa dimakan kalau kulitnya dikupas. Namun, kini para petani Jepang ingin membuat inovasi baru.

    Dikutip dari laman Independent, Jumat (2/2/2018), para petani di Negeri Sakura ini mengembangkan jenis pisang baru yang dapat makan dengan kulitnya.

    Salah satu cara mewujudkannya dengan menggunakan teknik pembekuan yang sangat inovatif.

    Psang baru ini dinamai Mongee. Dikembangkan oleh Setzuko Tanaka. Ia adalah manajer pengembangan teknologi di D&T Farm yang terletak di Okayama, Jepang.

    Pisang-pisang ini dikembangkan dengan teknik penanaman yang bebas dari pestisida. Teknik ini juga akan menempatkan pisang dalam suhu ekstrem yang dapat mencapai minus 60 derajat Celsius.

    Dengan menggunakan teknik seperti ini, buah pisang dapat dipanen dalam kurun waktu empat bulan.

    Rasa pisang Mongee ini dikatakan lebih manis dibandingkan dengan buah yang ditanam secara konvesional. Kulitnya pun berasa manis, tidak pahit seperti pisang kebanyakan. 

    "Pisang ini dikembangkan berkat hasil penelitian yang dikerjakan oleh Setsuzo Tanaka yang selama ini dikembangkan," ujar Tetsuya.

    Kini, pisang Mongee hanya dijual terbatas dalam jumlah kecil. Harga satu sisirnya mencapai 648 yen atau sekitar Rp 80 ribu per sisir.

    Tak hanya pisang, sebelumnya Jepang juga pernah berinovasi dengan buah lain seperti menghasilkan semangka berbentuk kotak.

    Ilmuwan: Pisang Bisa Punah


    Menurut ahli patologis tanaman dari University of California, Davis, Ioannis Stergiopoulos, senyawa penyakit yang berkembang dengan cepat, yang dikenal sebagai Sigatoka complex -- bisa jadi ancaman mematikan bagi pasokan pisang dunia.

    Sigatoka complex terdiri atas tiga penyakit jamur -- yellow Sigatoka (Pseudocercospora musae), bercak daun eumusae (Pseudocercospora eumusae), dan black Sigatoka (Pseudocercospora figiensis). Saat ini saja, penyakit tersebut telah mengurangi produksi pisang sebanyak 40 persen.

    Dari ketiganya, black Sigatoka merupakan risiko terbesar untuk 100 juta ton pisang yang ditanam pertahun di 120 negara.

    Untuk memahami bagaimana serangan jamur terjadi, Stergiopoulos melakukan pengurutan (sequencing) genom bercak daun eumusae dan black Sigatoka dan membandingkan hasilnya dengan genom yellow Sigatoka.

    Apa yang ditemukan ahli itu adalah, tiga jamur penyakit tersebut tak hanya mematikan sistem kekebalan pohon pisang, namun metabolisme jamur tersebut juga beradaptasi untuk menyesuaikan diri dengan inangnya.

    Itu berarti, jamur tersebut bisa memproduksi enzim untuk memecah dinding sel tanaman -- untuk mendapatkan makanan berupa gula dan karbohidrat lainnya.

    "Kami telah menunjukkan bahwa dua atau 3 jamur penyakit serius telah menjelma menjadi lebih ganas dengan meningkatkan kemampuan mereka untuk memanipulasi metabolisme pisah dan menggunakan nutrisinya," kata Stergiopoulos, dalam penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal online PLOS Genetics.

    "Perubahan paralel terhadap metabolisme patogen dan tanaman inang telah diabaikan hingga saat ini -- yang mungkin merepresentasikan 'sidik jari molekular' dari proses adaptasi tersebut.

    "Ini adalah peringatan pada komunitas riset untuk mencari mekanisme serupa antara patogen dan tanaman inang."

    Stergiopoulos merujuk pada pisang Cavendish, jenis pisang yang biasa ditemukan di supermarket.

    Tak seperti tanaman lain yang besar dari umbi atau biji, pisang tumbuh dari stek pucuk, yang berarti, penyakit yang mampu memusnahkan satu tanaman bisa menghancurkan mereka semua.

    "Pohon pisang Cavendish verasal dari satu pohon. Karena merupakan tanaman kloning, mereka semua memiliki genotipe yang sama," kata dia. "Itu bisa mengarah pada bencana."

    Stergiopoulos menambahkan, ketersediaan pisang siap makan memberikan kesan buah itu akan selalu ada.

    Untuk mencegah industri pisang global berakhir dalam dekade mendatang, petani harus mengaplikasikan 50 fungisida untuk setiap pohon pisang yang mereka tanam setiap tahunnya.

    "Antara 30-35 persen biaya produksi pisang digunakan untuk aplikasi fungisida," kata dia. "Karena banyak petani tak mampu menyediakan fungisida, mereka menumbuhkan pisang dengan kualitas lebih rendah, yang bernilai jual lebih rendah."

    Sebaliknya, "petani yang mampu membeli pestisida menimbulkan risiko bagi lingkungan dan kesehatan manusia."


    Leave a Reply

    Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

  • Copyright © - Taipannews

    Taipannews - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan